Senin, 31 Desember 2012

Permanganometri



Permanganometri merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh kalium permanganat (KMnO4). Reaksi ini difokuskan pada reaksi oksidasi dan reduksi yang terjadi antara KMnO4 dengan bahan baku tertentu. Titrasi dengan KMnO4 sudah dikenal lebih dari seratus tahun. Kebanyakan titrasi dilakukan dengan cara langsung atas alat yang dapat dioksidasi seperti Fe+, asam atau garam oksalat yang dapat larut dan sebagainya. Beberapa ion logam yang tidak dioksidasi dapat dititrasi secara tidak langsung dengan permanganometri seperti: (1) ion-ion Ca, Ba, Sr, Pb, Zn, dan Hg (I) yang dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah endapan disaring dan dicuci, dilarutkan dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk asam oksalat secara kuantitatif. Asam oksalat inilah yang akhirnya dititrasi dan hasil titrasi dapat dihitung banyaknya ion logam yang bersangkutan. (2) ion-ion Ba dan Pb dapat pula diendapkan sebagai garam khromat. Setelah disaring, dicuci, dan dilarutkan dengan asam, ditambahkan pula larutan baku FeSO4 berlebih. Sebagian Fe2+ dioksidasi oleh khromat tersebut dan sisanya dapat ditentukan banyaknya dengan menitrasinya dengan KMnO4.
Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: Larutan pentiter KMnO4 pada buret Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+¬. MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+ Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida yang kemudian terurai menjadi air. H2C2O4 + O2 ↔ H2O2 + 2CO2↑
H2O2 ↔ H2O + O2↑
Hal ini dapat menyebabkan pengurangan jumlah KMnO4 yang diperlukan untuk titrasi yang pada akhirnya akan timbul kesalahan titrasi permanganometri yang dilaksanakan.
2.1. Pengertian Oksidasi-Reduksi
Bilangan oksidasi (atau tingkat oksidasi) ialah berapa electron (muatan) dianggap ada/dipunyai oleh atom tersebut, seakan-akan dalam ikatan kimia, electron sepenuhnya pindah dari atom satu ke atom yang lain, tetapi sedemikian rupa, sehingga molekul secara keseluruhan tak bermuatan. Valensi dan bilangan oksidasi (BO) merupakan pengertian tidak sama. Valensi dalam perkembangan histories Ilmu Kimia diartikan sebagai “daya ikat” atau berapa banyak atom H diikat oleh satu atom unsure yang bersangkutan (atau, sebagai ganti atom H, berapa atom univalent lain atau 2x jumlah atom O).
Maka valensi dalam arti sempitnya itu merupakan bilangan bulat dan harus positif dan punya akar dalam kenyataan, walaupun tidak mencerminkan teori. Valensi penting dalam pengertian rumus bagun. Sebaliknya bilangan oksidasi dapat positif maupun negative; umumnya nilainya sama dengan nilai valensi tetapi ada kalanya berbeda, malahan tidak selalu bulat, dapat juga pecahan. Perbedaan ini terjadi karena BO merupakan hasil perhitungan dan sebenarnya tidak punya dasar riil. Perbedaan nilai ini dengan valensi terjadi antara lain kalau dalam molekul terdapat ikatan antara atom-atom unsure sejenis (misalnya dalam ikatan organik). BO sangat membantu untuk mengerti reksi oksidasi-reduksi (redoks) dan perhitungan yang bersangkutan dengan redoks, misalnya dalam penentuan koefesien reaksi.
Oksidasi ialah reksi yang menaikkan BO suatu unsure dalam zat yang mengalami oksidasi, dapat juga dilihat sebagai kenaikan muatan positif (penurunan muatan negatif) dan umumnya juga kenaikan valensi. Sebaliknya ialah reduksi, yaitu reaksi yang menurunkan BO atau muatan positif (menaikkan muatan negatif) dan umumnya menurunkan valensi unsure dalam zat yang direduksi . Jadi sekalipun kita mereduksi atau mengoksidasi suatu persenyawaan, sebenarnya yang dioksidasi atau reduksi itu ialah unsure tertentu yang terdapat di dalam pesenyawaan tersebut. Miasalnya:
MnO2 + 4 HCl MnCl2 + Cl2 + 2 H2O
Dalam reaksi ini, MnO2 ialah oksidator dan HCl, sedang HCL mereduksi atau dioksidasi oleh MnO2. Tetapi, seperti disebut di atas, yang dioksidasi ataupun direduksi ialah suatu unsure dalam persenyawaan-persenyawaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, yang dioksidasi ialah unsure Cl karena tampak berubah (naik muatan positifnya) dari Cl di dalam HCl, menjadi Cl dalam molekul Cl2. Yang diredusi ialah unsure Mn karena berubah (turun) BO-nya dari +4 dalam MnO2 menjadi +2 dalam MnCl2.
2.2. Kemungkinan Terjadinya Suatu Reaksi Redoks
Bila zat A direkasikan dengan zat B, bagaimana diketahui apakah akan terjadi reaksi redoks atau bukan redoks? Untuk menjawab pertanjaan ini harus diperhatiakan:
  1. tingkat oksidasi/valensi unsure-unsur dalam A maupun B, apakah ada yang dapat naik dan ada yang turun BO-nya.
  2. bila ada, apakah A oksidator cukup kuat dan B reduktor cukup kuat, ataupun sebaliknya;
  3. hal-hal lain.
A harus berisi unsure yang dapat dioksidasi dan B berisi unsure yang dapat direduksi atau sebaliknya. Misalnya reaksi antara asam nitrat dan ferrioksida
HNO3 + Fe2O3 ?
Bukan reaksi redoks karena H,N, dan Fe sudah mempunyai BO tertinggi sehingga kedua zat tidak dapat dioksidasi, hanya dapat direduksi (untuk reaksi redoks, satu harus dapat dioksidasi dan satu harus dapat direduksi). Juga reaksi antara asam nintrat dan kalium hidroksida
HNO3 + KOH
Tidak mungkin redoks.
Lain halnya dengan reaksi :
FeSO4 + I2 ?
Yang mungkin berlangsung sebagai reaksi redoks, karena Fe (+2) dapat naik BO menjadi Fe (+3), dan di pihak lain I (0) masih dapat turun menjadi I (-1). Maka mungkin terjadi reaksi redoks dengan FeSO4 sebagai reduktor dan I2 sebagai oksidator.
Contoh lain yang mungki menghasilkan reaksi redoks ialah :
MNO2 + NaBr + H2SO4 ?
Karena Mn (+4) dapat menjadi (+2); Br (-1) dapat menjadi (0) atau lebih.
2.3. Kurva Titrasi Redoks
Bahwa pada setiap titrasi selalu terbentuk kesetimbangan antara titrant yang sudah ditambahkan dan titrat. Ini merupakan dasar utama perhitungan titik-titik kurva titrant. Dalam hal ini, ordinat ialah potensial larutan, sebab inilah yang mencirikan keadaan larutan pada setiap saat titrant dan berubah bersama dengan penambahan titrant.
Dalam membentuk kurva titrasi dengan titrasi redoks, biasanya diplot grafik E sel (terdapat SCE) dengan volume dari titrant. Seperti diketahui sebagaian besar indicator redoks redoks memang sensitive tetapi indicator ini sendiri merupakan oksidator atau reduktor, sehingga perubahan potensial sistem indicator juga perlu dipertimbangkan selama titrasi. Oleh karena itu pada titrasi potensiometri, dimana E sel (dibandingkan terhadap elektroda pembanding) dibaca selama titrasi, titik ekivalen ditentukan dari kurva titrasinya. Perubahan potensial akibat penambahan Nernst asalkan potensial elektroda standar diketahui. Misalnya pada suatu jenis kurva titrasi dengan mempertimbangkan potensial reduktor oksidasi pada titik kesetimbangan (Eeg). Persamaan Nernst menyatakan:
E = E - log
Untuk reaksi:
Fe + Ce = Fe + Ce
Pada kesetimbangan potensial elektroda untuk dua setengah reaksi adalah sama.Ece = EFe= Esistem. Ini adalh potensialnya dari sistem. Untuk indicator redoks berlaku pula: Ece = EFe = Esistem.

2.4. Jenis-jenis Titrasi Oksidasi-Reduksi
Titrasi redoks dapat dibedakan menjadi beberapa cara berdasar pemakaiannya:
  1. Na2S2O3 sebagai titrant; dikenal sebagai yodometri tak langsung
Analat harus berbentuk suatu oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini analat selalu direduksi dulu dengan KI sehingga terjadi I2. I2 inilah dititrasi dengan Na2S2O3:
OKsanalat + I Red analat I2 (…1)
2.      S2O3 + I2 S4O6 + 2 I (…2)
Daya reduksi ion yodida cukup besar dan titrasi ini banyak diterapkan. Reaksi S2O3 dengan I2 berlangsung baik dari segi kesempurnaannya, berdasarkan potensial redoks masing-masing:
S4O6 + 2 e 2 S2O3 E = 0,08 volt (…3)
I2 + 2 e 2 I E = 0,536 volt (…4)
Selain itu, reaksi berjalan cepat dan bersifat unik karena oksidator lain tidak mengubah S2O3 menjadi S4O6 melainkan menjadi SO3 seluruhmya atau sebagaian menjadi SO4.Titrasi dapat dilakukan tanpa indicator dari luar karena warna I2 yang dititrasi itu akan lenyap bila titik akhir tercapai; warna itu mula-mula coklat agak tua, menjadi lebih muda, lalu kuning, kuning-muda, dan seterusnya, samapai akhirnya lenyap. Bila diamati dengan cermat perubahan warna tersebut, maka titik akhir dapat ditentukan dengn cukup jelas. Konsentrasi 5 x 10 M yod masih tepat dapat dilihat dengan mata dan memungkinkan penghentian titrasi dengan kelebihan hanya senilai 1 tetes yod 0,05 M. Namun lebih amudah dan lebioh tegas bila ditambahakan amilum kedalam larutan sebagai indicator. Amilum dengan I2 membentuk suatu kompleks berwarna biru tua yang masih sangat jelas sekalipun I2 sedikit sekali. Pada titik akhir, yod yang terikat itu pun hilang bereaksi dengan titrant sehingga warna biru lenyap mendadak dan perubahan warnanya tampak sangat jelas. Penambahan amilum ini harus menunggu sampai mendekati titik akhir titrasi (bila yod sudah tinggal sedikit yang tanpa dari warnanya yang kuning-muda). Maksudnya ialah agar amilum tidak membungkus yod dan menyebabkan sukar lepas kembali. Hal ini akan berakibat warna biru sulit sekali lenyap sehingga titik akhir tidak kelihatan tajam lagi. Bila yod masih banyak sekali bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan warna pada titik akhir.
a.       Larutan Na2S2O3
Larutan ini biasanya dibuat dari garam, Na2S2O3. 5 H2O. Karena BE = BM-nya (248,17) maka dari segi ketelitian penimbangan, hal ini menguntungkan. Larutan ini perlu distandardisasi. Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh Ph rendah, sinar matahari, dan terutama adanya bakteri yang memanfaatkan S. Pada PH rendah (<5)>
S2O3 + H HSO3 + S
Tetapi karena reaksi ini berjalan lambat, kesalahan tidak perlu dikuartirkan walaupun larutan yang dititrasi cukup asam asal titrasi dilakukan dengan penambahan titrant yang tidak terlalu cepat. Bakteri dapat menyebabkan perubahan S2O3 menjadi SO3, SO4 dan S . S ini tanpa sebagian endapan koloida yang membuat larutan menjadi keruh; ini pertanda larutan harus diganti. Untuk mencegah aktivitas bakteri, pada pembuatan larutan hendaknya dipakai air yang sudah dididihkan; selain itu dapat ditambahakan pengawet seperti misalnya klorofom, natrium benzoate, atau HgI2.
Kestabilan larutan Na2S2O3= dalam penyimpangan ternyata paling baik bila mempunyai pH antara 9 dan 10, mungkin karena aktivitas bakteri yang minimal. Untuk kebutuhan biasa, pH 7 sudah sangat memadai. Walupun demikian, larutan Na2S2O3 harus sering distandardisasi ulang.
b.  Sumber kesalahan Titrasi
● Kesalahan Oksigen: Oksigen di udara dapat menyebabkan hasil titrasi terlalu tinggi karena dapat mengoksidasi ion yodida menjadi I2 juga sebagai berikut :
O2 + 4 + 4 H 2 I2 + 2 H2O
● Pada Ph tinggi muncul bahan lain, yaitu bereaksinya I2 yang berbentuk dengan air (hidrodisa) dan hasil reaksinya lanjut:
I2 + H2O HOI + I + H (a)
4 HOI + S2O3 + H2O 2 SO4 + 4 I + 6 H (b)
● Di atas sudah disebutkan bahaya kesalahan karena pemberian amilum terlalu awal.
● Banyak reaksi analat dengan KI yang berjalan agak lambat. Karena itu sering kali harus ditunggu sebelum titrasi; sebaliknya menunggu terlalu lama tidak baik karena kemungkinan yod menguap.
c. Bahan Baku Primer
● I2 murni atau dimurnikan dengan jalan disublimasikan. BE cukup tinggi (126,9). Yod mudah menguap, maka bahan ini harus ditimbang dalam botol tertutup
● KIO3 kemurnianya baik, tetapi Be agak terlalu rendah (35,67)
● K2 Cr2O7 juga mudah sekali diperoleh dalam keadaan murni, tetapi juga agak rendah BE-nya (49,03). Reaksinya dengan KI harus ditunggu beberapa lama senelumnya dititrasi.
3.      I2 sebagai titrant; dikenal sebagai titrasi yodometri langsung dan kadang-kadang dinamakan yodimetri
Dalam metode ini, analat dioksidasi oleh I2 sehingga I2 tereduksi menjadi ion yodida:
Ared + I2 Aoks + I, Yod meruapakan oksidator yang tidak terlalu kuat , sehingga hanya zat-zat yang merupakan dari tak berwarna menjadi warna biru.
a.       Larutan Baku Yod
Yod (I2) sebagai zat padat sukatr larut dalam air , yaitu hanya sekitar 0,0013 mol per liter pada 25 C, tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI karena membentuk ion I3 sebagai berikut:
I2 + I I3 (ion triyodida)
Maka larutan dibuat dengan KI sebagai pelarut. Larutan yod ini tidak stabil, sehingga standardisasi perlu dilakukan berulang kali.
b.      Kesempurnaan Reaksi
Sebagai oksidator lemah, yod tidak dapat bereaksi terlalu sempurna. Karena itu sering dibuat kondisi yang menggeser kesetimbangan kea rah hasil reaksi antara lain dengan mengatur Ph atau menambahkan bahan pengkomleksan seperti yang dilakukan pada titrasi Fe dengan pemberian EDTA atau P2O7.
  1. Suatu oksidator kuat sebagai titrant. Diantaranya yang paling sering dipakai ialah:
a.       KMnO4
b.      K2Cr2O7
c.       Ce (IV)

  1. Suatu reduktor kuat sebagai titrant
Larutan bahan pereduksi sering penggunaanya karena sangat mudah teroksidasi oleh udara. Akibatnya, kadang-kadang titrasi harus dilakukan dalam atmosfer insert, misalnya dengan mengalirkan N2 atau CO2 ke dalam atau ke atas titrat. Juga penyimpangan larutan memerlukan lingkaran inert. Cara lain ialah menambahkan pereduksi berlebih, lalu menitrasikannya kembali dengan oksidator untuk menentukan kelebihannya; oksidator yang dipakai dapat misalnya kalium bikhromat baku. Disamping itu dilakuakan titrasi blangko atas pereduksi tersebut untuk menentukan konsentrasinya yang tepat.
a.       Pereduksi-pereduksi kuat yang dapat dipakai sebagai titrant antara lain ialah titrant (III) dan khrom (II) yang cepet sekali bereaksi dengan udara sehingga harus digunakan dengan gas inert N2 atau CO2.
b.      Natrium tiosulfat sebagai titrant untuk yodometri tak langsung sudah dibicarakan.
c.       Larutan Fe dengan mudah dapat dibuat dari garam Mohr, Fe(NH4)2 (SO4)2.6 H2O atau garam Oesper, FeC2H4 (NH4)2.4 H2O (ferro etilendiammonium sulfat). Dalam larutan netral, Fe (II) cepat teroksidasi oleh udara, tetapi hal itu dapat dicegah bila larutan diasami dan larutan paling stabil dibuat dengan H2SO4 sekitar 0,5 M. Larutan demikian perlu distandarisasi setiap kali hendak dipakai.
2.6. Penentuan Titik Akhir pada Titrasi Redoks
Biasanya dua jenis indicator digunakan untuk menentukan titik akhir. Indikator tersebut adalah indicator eksternal maupun indicator internal. Biasanya indicator eksternal digunakan dalam uji bercak.Contohnya : K3Fe(CN)6 untuk Fe. UO2(NO3)2 untuk Zn. Indikator eksternal dapat digantikan oleh indicator redoks internal. Indikator terdiri dari jenis ini harus menghasilkan perubahan potensial oksidasi di sekitar titik ekivalen reaksi redoks. Yang terbaik adalah indicator 1.10-fenantrolin, indicator ini mempunyai potensi oksidasi pada harga antara potensial larutan yang titrasi dan penitrannya sehingga memberikan titik akhir yang jelas.
(fen)3Fe + e (fen)3 Fe E = 1,06 V – 1,11 V
Biru Merah
Garam kompleks yang diperoleh dari pencampuran secara ekivalen 1.10-fenantrolin dan FeSO4 membentuk kompleks khelat yang disebut “ferroin”. Pertukaran electron berlangsung melalui cincin aromatic. Kompleks Fe dengan 5-nitro-1, 10-fenantrolin dan 5-metil-1-10-fenantrolin masing-masing dikenal sebagai nitroferrolin (E= 1,25 V) dan metal-ferroin (E = 1,02 V). Kompleks Fe dengan 4-7 dimetil fenantrolin mempunyai harga E= 0,921 V dalam 0,5 M H2SO4. Turunan-turunan lain yang sering digunakan adalah 5,6-dimetil; 3,5,7 trimetil; 3,4,6,7-tetrametil; 5 fenil; 5-khloroferroin. Kemudian indicator trimetil metana; turunan ini digunakan dalam suasan larutan alkalis dan netral. Misalnya saja eroglaucine A (0,98 V), erigren B (0,99 v), eriogren semuanya berubah warnanya dari kuning ke jingga pada peristiwa oksidasi. Pada keadaan tersebut titrasi kembali tidak mungkin dilakukan karena perubahan warnanya tidak reversible. Difenil amin dalam H2SO4 juga merupakan indicator yang sering digunakan.
2.7.Pemakaian Iodium Sebagai Regen Redoks
Karena harga Eiodium berada pada daerah pertengahan maka sistem iodium dapat digunakan untuk oksidator maupun reduktor. Jika Etidak tergantung pada pH (pH <>
I2 + 2 e 2 I , E = 0,535 V
I2 adalah oksidator lemah sedangkan iodide secara relative merupakan reduktor lemah. Kelarutannya cukup baik dalam air dengan pembentukan triodida [KI3]. Oleh karena itu
I2 + 2 e 2 I , E = 6,21 adalah reaksi pada permulaan reaksi. Iodium dapat dimurnikan dengan sublimasi. Ia larut dalam larutan KI dan harus disimpan dalam tempat yang dingin dan gelap. Dapat distandarisasi adalah As2O3. Berkurangnya iodium akibat penguapan dan oksidasi udara menyebabkan banyak kesalahan analisis. Cara lain standarisasi dengan Na2S2O3. 5H2O. Larutan thiosulfat distandarisasi lebih dahulu terhadap K2CrO7. Reaksinya :
Cr2O7 + 14 H + 6 I 3 I2 + 2Cr + 7H2O
Biasanya indicator yang digunakan adalah kanji/amilum. Iodida pada konsentrasi < style="position: relative; top: 2pt;">M dapat dengan mudah ditelan oleh amilum.
Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir reaksi. Dengan formamida penyerangan kanji oleh mikroorganisma paling sedikit. Kita akan membahas beberapa pilihan reaksi iodometrik.
  1. reaksi iodium-tiosulfat : Jika larutan iodium di dalam KI pada suasana netral maupun asam dititrasi maka : I3 + 2S2O 3 I + 2S4O6 sealam reaksi zat antara S2O Iyang tidak berwarna adalah terbentuk sebagai
S2O3­ + I3 S2O I+ 2 I warna yang terus menjadi
2S2O I+ I S4O6 + I3 warna indicator muncul kembali pada
S2O I+ S2OS4O6 + I Reaksi berlangsung baik dibawah pH = 5,0, sedangkan pada larutan alkali, larutan asam hpoiodus (HOI) terbentuk.

  1. Reaksi dengan tembaga : Kelebihan KI bereaksi dengan CU (II) untuk membentuk CuI dan melepaskan sejumlah ekivalen I2.
2Cu + 4 I 2CuI + I2 ; 2Cu + 3 I 2CuI + I3 Iodida berperan sebagai reduktor. Reaksi dengan Cu
Cu + e Cu E = 0,15 V; I2 + 2 e = 21 E=0,54 V dan Cu + I+ e CuI E = 0,86 V Hasil yang terbaik diperoleh dalam 4% KI. pH optimum adalah 4,0.Cu (II) pada medium alkali akan lebih sulit dioksidasi. Na2S2O3 di tambahkan secara perlahan-lahan karena iodium yang teradsorbsi dilepaskan sedikit demi sedikit. Adanya ion klorida dapat mengganggu karena iodide tidak dapat mereduksi Cu (II) secara kuantitatif.
  1. Oksigen terlarut : Dengan menggunakan metode Winkler, oksigen terlarut (DO) dapat ditentukan. Dasarnya adalah reaksi antara O2 dan Mn (II) hidroksida yang tersuspensi pada media alkali. Pada penambahan asam Mn (OH)2 berubah menjadi Mn-iodida.
  2. Air dengan metode Kerl Fischer : Ini meliputi titrasi sampel dalam methanol. Titik akhir titrasi sesuai dengan munculnya kelebihan I2, yang dapat dideteksi secara manual maupun dengan cara-cara elektrokimia. Reaksi adalah :
C5H5N.I2 + C5H5N.SO2 + C5H5N + H2O 2C5H5N H I + C5H5N. SO2 (Piridin N – asam sulfonat)
C5H5N.SO3 + CH3OH C5H5NO. SO2OCH3 (Piridium metal sulfat)
C5H5N.SO3 + H2O C5H5NHO. SO2OH (Piridium hydrogen sulfat)
Reaksi totalnya :
I2 + SO2 + H2O + CH3OH + 3 pyHI 2 pyHI + pyHOSO2OCH3
Metode ini sangat untuk menentukan kelembapan dan kandungan H2O dari beberapa materi. Metode dua reagen lebih baik bila sampel dan piridin methanol serta SO2 dititrasi dengan iodium dalam metanol.
2.8. Beberapa Sistem Redoks
a.       Ce (IV) sulfat adalah oksidator yang sangat baik dengan indicator o-fenantrolin. Pada reaksi Ce Ce + eelectron orbital 4f-lah yang dibebaskan. Laju reaksi dipengaruhi oleh pelarut dan pembentukan kompleks. Ce (IV) selama reaksi dalam medium H2SO4, HNO3 dan HCLO4 berada dalam bentuk kompeks. Potensial formal pasangan Ce (IV)-Ce (III) adalah 1,70 V dalam HCIO4; 1,60 V dalam HNO3 dan 1,42 V dalam larutan H2SO4.
b.      Kalium permanganate : adalah oksidator kuat. Tidak memerlukan indicator. Kelemahanya adalah dalam medium HCI CIdapat teroksidasi. Demikian juga kelarutannya, mempunyai kestabilan yang terbatas. Biasanya digunakan pada medium asam 0,1N; MnO4 + 8 H + 5 e 4 H2O E= 1,51 V. Reaksi oksidasi terhadap H2C2O4 berjalan lambat pada temperature ruang.
c.        Kalium dikromat : reaksi ini berproses seperti Cr2O7 + 14 H + 6 e Cr + 7 H2O E= 1,33 V Zat ini mempunyai keterbatasan dibandingkan KMnO4 atau Ce (IV), yaitu kekuatan oksidasinya lebih lemah dan reaksinya lambat. K2Cr2O4 bersifat stabil dan inert terhadap HCI. Mudah diperoleh dalam kemurniaan tinggi dan merupakan standar primer. Biasanya indicator yang digunakan adalah asam difenilamin-sulfonat. Terutama digunakan untuk analisis besi (III) menurut reaksi :6 Fe + Cr2O7 + 14 H 6 Fe + 2 Cr + 7 H2O
d.      Kalium bromate : ini adalah oksidator kuat. Reaksinya: BrO + 6 H Br + 3H2O E= 1,44 V. BrO3 adalah standar primer dan sifatnya stabil. Methyl orange atau red digunakan sebagai indicator tetapi tidak sebaik nafthaflavon,quinoline yellow. Kalium Bromat banyak digunakan dalam kimia organic, missal titrasi dengan oksin. Sebagian besar titrasi meliputi titrasi kembali dengan asam arsenic.
e.       Kalium iodat : banyak dipakai dalam kimia analitik IO3+ 5 I + 6 H 3 I2 + 3 H2O dan reaksi dalam titrasi Adrew’s: IO3 + Cl + 6 H +4 e ICI + 3 H2O E= 1,20 V. titrasi Andrew dilakukan pada suasana asam HCI 6 M dalam CCI4. Titik akhir ditetapkan pada saat earna unggu menghilang . Untuk mendapatkan warna titik akhir yang tepat perlu dilakukan pengocokan.
 BAHAN, ALAT DAN METODE
3.1. Bahan Percobaan
Beberapa bahan yang digunakan untuk praktikum ini yaitu : asam oksalat, KMnO4, dan sampel (sampel I)
3.2. Alat Percobaan
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu : pembakar bunsen, termometer, kaki tiga, kasa, neraca elektrik, labu erlemeyer, buret, gelas ukur, pipet, kertas, labu ukur, dan corong
3.3 Metode/prosedur Percobaan
Metode Percobaannya yaitu :
1. Pembuatan Larutan Baku Primer asam oksalat, (H2C2O4.2H2O) (BM 126) 0,05 N. Asam oksalat ditimbang seberat + 0,315 gram, lalu dimasukkan ke dalam labu ukur seukuran kemudian larutkan dengan menambahkan aquadest sampai volume 100 ml.
2. Pengenceran larutan baku sekunder KMnO4 0,1 N menjadi 0,05 N 50 ml kalium permanganat (KMnO4) diadakan sampai volume 100 ml.
3. Pembakuan KMnO4
Pipet 25 ml asam oksalat, masukkan ke dalam labu Erlemenyer, kemudian tambahkan 15 ml H2SO4 panaskan. Titrasi dengan larutan baku KMnO4 sampai terbentuk warna ros. Catat volume akhir KMnO4 pada buret. Ulangi, kemudian cari volume rata-rata KMnO4 yang terpakai.
Catat Volum rata-rata KMnO4 yang terpakai.
4. Perhitungan Konsentrasi Sampel (Sampel I)
Pipet 25 ml sampel, tambahkan H2SO4 kemudian panaskan sampai letupan yang pertama. Titrasi dengan larutan baku KMnO4 sampai terbentuk warna ros. Catat akhir KMnO4. Ulangi kemudian cari volume rata-rata KMnO4.

 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Percobaan
Pada percobaan ini, asam oksalat 25 ml ditambahkan H2SO4 pekat kemudian dipanaskan mencapai suhu 60-65o C ternyata mempunyai warna larutan tetap bening.
Tabel Hasil Titrasi Asam Oksalat dengan H2SO4 oleh KMnO4
Percobaan
Titik Ekivalen (mL)
1
5,7 mL
2
5,7 mL
Rata-rata TE
5,7 mL
Keterangan :
Warna berubah menjadi warna ros.
V1 . N1 = V2 . N2
N asam oksalat . Vasam Oksalat = N KMnO4 . V KMnO4
N1 = N2 . V2
1
= 0,03 . 5,7 mL
25 mL
= 0,171
25
= 0,00684 N
= 6,84 X 10-3
Jadi N asam oksalat adalah 6,84 X 10-3 N
4.2. Pembahasan
Pereaksi kalium permanganat ukan pereaksi aku primer. Sangat sukar untuk mendapatkan perekasi ini dalam keadaan murni, bebas dari mangan dioksida. Kalium permanganat merupakan zat pengoksid kuat yang berlainan menurut pH medium, kalium permanganat merupakan zat padat coklat tua yang menghasilkan larutan ungu bila dilarutkan dalam air, yang merupakan ciri khas untuk ion permanganat.
Timbulnya mangan dioksida ini justru akan mempercepat reduksi pemanganat. Demikian juga adanya ion mangan (II) dalam larutan akan mempercepat reduksi permanganat menjadi mangan oksida. Reaksi tersebut berlangsung sangat cepat dalam suasana netral. Oleh karena itu larutan kalium permanganat harus dibakukan dahulu dengan menggunakan asam oksalat (H2C2O4) dan H2SO4.
Pembakuan larutan KMnO4 ini dapat dilakukan dengan titrasi permanganometri secara langsung, biasanya dilakukan pada analit yang dapat langsung dioksida.
Kalium permanganat merupakan zat pengoksidasi yang sangat kuat. Pereaksi ini dapat dipakai tanpa penambahan indikator, karena mampu bertindak sebagai indikator. Oleh karena itu pada larutan ini tidak ditambahkan indikator apapun dan langsung dititrasi dengan larutan KMnO4.
Sumber-sumber kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: Larutan pentiter KMnO4 pada buret Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+¬. MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+ Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida yang kemudian terurai menjadi air.
Raeksi antara permanganat dengan asam oksalat berjalan agak lambat pada suhu kamar. Tetapi kecepatan meningkat setelah ion mangan (II) terbentuk mangan (II) bertindak sebagai suatu katalis dan reaksinya diberi istilah otokatalitik karena katalis menghasilkan reaksinya sendiri. Kalium permanganat merupakan pengoksidasi yang kuat sehingga dapat memakainya tanpa penambahan indikator. Hal ini dikarenakan kalium permanganat dapat ertindak sebagai indikator atau autoindikator. Diperoleh volume yang menggunakan KMnO4 sebesar 1 mL, dengan perubahan larutan menjadi warna ros.
Reaksi yang terjadi adalah :
2MnO4- + 5H2C2O4 + 6H+ à 2Mn2 +10 CO2 + 8 H2O
Berdasarkan reaksi diatas diperoleh sesuai dengan konsep awal bahwa normalitas KMnO4 yang digunakan adalah 0,03 N maka untuk dihasilkan perhitungan sebagai berikut :
V1 . N1 = V2 . N2
N asam oksalat . Vasam Oksalat = N KMnO4 . V KMnO4
N1 = N2 . V2
1
= 0,03 . 5,7 mL
25 mL
= 0,171
25
= 0,00684 N
= 6,84 X 10-3
Jadi N asam oksalat adalah 6,84 X 10-3 N
Permanganat akan memberikan warna merah ros yang jelas pada volume larutan biasa dipergunakan dalam larutan yang biasa dipergunakan dalam sebuah titrasi. Warna ini dipergunakan untuk mengidikasi kelebihan reagen tersebut. Permanganat berekasi secara cepat dengan banyak agen pereduksi, namun beberapa substansi membutuhkan pemanasan atau penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat reaksi.






Tabel Hasil Titrasi Asam Oksalat dengan H2SO4 oleh KMnO4


Percobaan
Titik Ekivalen (mL)
1
5,7 mL
2
5,7 mL
Rata-rata TE
5,7 mL



Kelebihan sedikit dari permanganat yang hadir pada titik akhir dari titrasi cukup untuk mengakibatkan terjadinya pengendapan sejumlah MnO2. Bagaimanapun juga, mengingat reaksinya berjalan lambat, MnO2 tidak diendapkan secara normal pada titik akhir titras-titrasi permanganat. Tindakan pencegahan khusus harus dilakukan dalam pembuatan larutan permanganat. Jejak-jejak dari MnO2 yang semula ada dalam permanganat, atau terbentuk akiat dari reaksi antara permanganat dengan jejak-jejak dari agen-agen pereduksi didalam air, mengarah pada dekomposisi. Tindakan-tindakan ini biasanya berupa larutan kristal-kristalnya, pemanasan untuk menghancurkan substansi-substansi yang dapat direduksi.


DAFTAR PUSTAKA

Basset, J. Dkk.199. Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta
Haryadi.1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT. Gramedia: Jakarta.
Purba, Michael 1995. Ilmu Kimia untuk SMU Kelas 2 Jilid 2A. Jakarta :
Erlangga.
Sutresna, Nana. 2003. Pintar Kimia Jilid 3 untuk SMU Kelas 3. Jakarta :
Ganeca Exact.
Pudjaatmaka, Hadyana.1989. KIMIA UNTUK UNIVERSITAS. ERLANGGA: Jakarta.
Khopkar, S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta


Tidak ada komentar:

Posting Komentar