Permanganometri
merupakan titrasi yang dilakukan berdasarkan reaksi oleh kalium permanganat
(KMnO4). Reaksi ini difokuskan pada reaksi oksidasi dan reduksi yang terjadi
antara KMnO4 dengan bahan baku tertentu. Titrasi dengan KMnO4 sudah dikenal
lebih dari seratus tahun. Kebanyakan titrasi dilakukan dengan cara langsung
atas alat yang dapat dioksidasi seperti Fe+, asam atau garam oksalat yang dapat
larut dan sebagainya. Beberapa ion logam yang tidak dioksidasi dapat dititrasi
secara tidak langsung dengan permanganometri seperti: (1) ion-ion Ca, Ba, Sr,
Pb, Zn, dan Hg (I) yang dapat diendapkan sebagai oksalat. Setelah endapan
disaring dan dicuci, dilarutkan dalam H2SO4 berlebih sehingga terbentuk asam
oksalat secara kuantitatif. Asam oksalat inilah yang akhirnya dititrasi dan
hasil titrasi dapat dihitung banyaknya ion logam yang bersangkutan. (2) ion-ion
Ba dan Pb dapat pula diendapkan sebagai garam khromat. Setelah disaring,
dicuci, dan dilarutkan dengan asam, ditambahkan pula larutan baku FeSO4
berlebih. Sebagian Fe2+ dioksidasi oleh khromat tersebut dan sisanya dapat
ditentukan banyaknya dengan menitrasinya dengan KMnO4.
Sumber-sumber
kesalahan pada titrasi permanganometri, antara lain terletak pada: Larutan
pentiter KMnO4 pada buret Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama,
larutan KMnO4 pada buret yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga
pada titik akhir titrasi akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang
seharusnya adalah larutan berwarna merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu
cepat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada
larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung
menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan Mn2+¬. MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2 +
4H+ Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian
KMnO4 yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan H2SO4 dan
telah dipanaskan mungkin akan terjadi kehilangan oksalat karena membentuk
peroksida yang kemudian terurai menjadi air. H2C2O4 + O2 ↔ H2O2 + 2CO2↑
H2O2 ↔ H2O + O2↑
Hal
ini dapat menyebabkan pengurangan jumlah KMnO4 yang diperlukan untuk titrasi
yang pada akhirnya akan timbul kesalahan titrasi permanganometri yang
dilaksanakan.
2.1.
Pengertian Oksidasi-Reduksi
Bilangan oksidasi (atau tingkat oksidasi) ialah berapa electron (muatan)
dianggap ada/dipunyai oleh atom tersebut, seakan-akan dalam ikatan kimia,
electron sepenuhnya pindah dari atom satu ke atom yang lain, tetapi sedemikian
rupa, sehingga molekul secara keseluruhan tak bermuatan. Valensi dan bilangan
oksidasi (BO) merupakan pengertian tidak sama. Valensi dalam perkembangan
histories Ilmu Kimia diartikan sebagai “daya ikat” atau berapa banyak atom H
diikat oleh satu atom unsure yang bersangkutan (atau, sebagai ganti atom H,
berapa atom univalent lain atau 2x jumlah atom O).
Maka valensi dalam arti sempitnya itu merupakan bilangan
bulat dan harus positif dan punya akar dalam kenyataan, walaupun tidak
mencerminkan teori. Valensi penting dalam pengertian rumus bagun. Sebaliknya
bilangan oksidasi dapat positif maupun negative; umumnya nilainya sama dengan
nilai valensi tetapi ada kalanya berbeda, malahan tidak selalu bulat, dapat
juga pecahan. Perbedaan ini terjadi karena BO merupakan hasil perhitungan dan
sebenarnya tidak punya dasar riil. Perbedaan nilai ini dengan valensi terjadi
antara lain kalau dalam molekul terdapat ikatan antara atom-atom unsure sejenis
(misalnya dalam ikatan organik). BO sangat membantu untuk mengerti reksi
oksidasi-reduksi (redoks) dan perhitungan yang bersangkutan dengan redoks,
misalnya dalam penentuan koefesien reaksi.
Oksidasi ialah reksi yang menaikkan BO suatu unsure dalam
zat yang mengalami oksidasi, dapat juga dilihat sebagai kenaikan muatan positif
(penurunan muatan negatif) dan umumnya juga kenaikan valensi. Sebaliknya ialah
reduksi, yaitu reaksi yang menurunkan BO atau muatan positif (menaikkan muatan
negatif) dan umumnya menurunkan valensi unsure dalam zat yang direduksi . Jadi
sekalipun kita mereduksi atau mengoksidasi suatu persenyawaan, sebenarnya yang
dioksidasi atau reduksi itu ialah unsure tertentu yang terdapat di dalam
pesenyawaan tersebut. Miasalnya:
MnO2 + 4 HCl
MnCl2 + Cl2 + 2 H2O
Dalam
reaksi ini, MnO2 ialah oksidator dan HCl, sedang HCL mereduksi atau
dioksidasi oleh MnO2. Tetapi, seperti disebut di atas, yang
dioksidasi ataupun direduksi ialah suatu unsure dalam persenyawaan-persenyawaan
yang bersangkutan. Dalam hal ini, yang dioksidasi ialah unsure Cl karena tampak
berubah (naik muatan positifnya) dari Cl di dalam HCl, menjadi Cl
dalam molekul Cl2. Yang diredusi ialah unsure Mn karena berubah
(turun) BO-nya dari +4 dalam MnO2 menjadi +2 dalam MnCl2.
2.2.
Kemungkinan Terjadinya Suatu Reaksi Redoks
Bila zat A direkasikan dengan zat B, bagaimana diketahui
apakah akan terjadi reaksi redoks atau bukan redoks? Untuk menjawab pertanjaan
ini harus diperhatiakan:
- tingkat oksidasi/valensi unsure-unsur dalam A maupun B, apakah ada yang dapat naik dan ada yang turun BO-nya.
- bila ada, apakah A oksidator cukup kuat dan B reduktor cukup kuat, ataupun sebaliknya;
- hal-hal lain.
A harus berisi unsure yang dapat dioksidasi dan B berisi
unsure yang dapat direduksi atau sebaliknya. Misalnya reaksi antara asam nitrat
dan ferrioksida
HNO3
+ Fe2O3 ?
Bukan
reaksi redoks karena H,N, dan Fe sudah mempunyai BO tertinggi sehingga kedua
zat tidak dapat dioksidasi, hanya dapat direduksi (untuk reaksi redoks, satu
harus dapat dioksidasi dan satu harus dapat direduksi). Juga reaksi antara asam
nintrat dan kalium hidroksida
HNO3
+ KOH
Tidak
mungkin redoks.
Lain halnya dengan reaksi :
FeSO4 + I2 ?
Yang
mungkin berlangsung sebagai reaksi redoks, karena Fe (+2) dapat naik BO menjadi
Fe (+3), dan di pihak lain I (0) masih dapat turun menjadi I (-1). Maka mungkin
terjadi reaksi redoks dengan FeSO4 sebagai reduktor dan I2
sebagai oksidator.
Contoh
lain yang mungki menghasilkan reaksi redoks ialah :
MNO2
+ NaBr + H2SO4 ?
Karena
Mn (+4) dapat menjadi (+2); Br (-1) dapat menjadi (0) atau lebih.
2.3.
Kurva Titrasi Redoks
Bahwa pada setiap titrasi selalu terbentuk kesetimbangan
antara titrant yang sudah ditambahkan dan titrat. Ini merupakan dasar utama
perhitungan titik-titik kurva titrant. Dalam hal ini, ordinat ialah potensial
larutan, sebab inilah yang mencirikan keadaan larutan pada setiap saat titrant
dan berubah bersama dengan penambahan titrant.
Dalam membentuk kurva titrasi dengan titrasi redoks,
biasanya diplot grafik E sel (terdapat SCE) dengan volume dari titrant. Seperti
diketahui sebagaian besar indicator redoks redoks memang sensitive tetapi
indicator ini sendiri merupakan oksidator atau reduktor, sehingga perubahan
potensial sistem indicator juga perlu dipertimbangkan selama titrasi. Oleh
karena itu pada titrasi potensiometri, dimana E sel (dibandingkan terhadap
elektroda pembanding) dibaca selama titrasi, titik ekivalen ditentukan dari
kurva titrasinya. Perubahan potensial akibat penambahan Nernst asalkan
potensial elektroda standar diketahui. Misalnya pada suatu jenis kurva titrasi
dengan mempertimbangkan potensial reduktor oksidasi pada titik kesetimbangan (Eeg).
Persamaan Nernst menyatakan:
E = E - log
Untuk reaksi:
Fe + Ce = Fe + Ce
Pada kesetimbangan potensial elektroda untuk dua setengah
reaksi adalah sama.Ece = EFe= Esistem.
Ini adalh potensialnya dari sistem. Untuk indicator redoks berlaku pula: Ece
= EFe = Esistem.
2.4.
Jenis-jenis Titrasi Oksidasi-Reduksi
Titrasi
redoks dapat dibedakan menjadi beberapa cara berdasar pemakaiannya:
- Na2S2O3 sebagai titrant; dikenal sebagai yodometri tak langsung
Analat harus berbentuk suatu
oksidator yang cukup kuat, karena dalam metode ini analat selalu direduksi dulu
dengan KI sehingga terjadi I2. I2 inilah dititrasi dengan
Na2S2O3:
OKsanalat + I Red
analat I2 (…1)
2.
S2O3 +
I2 S4O6 + 2 I (…2)
Daya reduksi ion yodida cukup besar
dan titrasi ini banyak diterapkan. Reaksi S2O3 dengan I2
berlangsung baik dari segi kesempurnaannya, berdasarkan potensial redoks
masing-masing:
S4O6 + 2 e 2
S2O3 E = 0,08 volt (…3)
I2 + 2 e 2 I E = 0,536 volt
(…4)
Selain itu, reaksi berjalan cepat
dan bersifat unik karena oksidator lain tidak mengubah S2O3
menjadi S4O6 melainkan menjadi SO3
seluruhmya atau sebagaian menjadi SO4.Titrasi dapat dilakukan tanpa
indicator dari luar karena warna I2 yang dititrasi itu akan lenyap
bila titik akhir tercapai; warna itu mula-mula coklat agak tua, menjadi lebih
muda, lalu kuning, kuning-muda, dan seterusnya, samapai akhirnya lenyap. Bila
diamati dengan cermat perubahan warna tersebut, maka titik akhir dapat
ditentukan dengn cukup jelas. Konsentrasi 5 x 10 M yod masih tepat
dapat dilihat dengan mata dan memungkinkan penghentian titrasi dengan kelebihan
hanya senilai 1 tetes yod 0,05 M. Namun lebih amudah dan lebioh tegas bila
ditambahakan amilum kedalam larutan sebagai indicator. Amilum dengan I2
membentuk suatu kompleks berwarna biru tua yang masih sangat jelas sekalipun I2
sedikit sekali. Pada titik akhir, yod yang terikat itu pun hilang bereaksi
dengan titrant sehingga warna biru lenyap mendadak dan perubahan warnanya
tampak sangat jelas. Penambahan amilum ini harus menunggu sampai mendekati titik
akhir titrasi (bila yod sudah tinggal sedikit yang tanpa dari warnanya yang
kuning-muda). Maksudnya ialah agar amilum tidak membungkus yod dan menyebabkan
sukar lepas kembali. Hal ini akan berakibat warna biru sulit sekali lenyap
sehingga titik akhir tidak kelihatan tajam lagi. Bila yod masih banyak sekali
bahkan dapat menguraikan amilum dan hasil penguraian ini mengganggu perubahan
warna pada titik akhir.
a. Larutan Na2S2O3
Larutan ini biasanya dibuat dari
garam, Na2S2O3. 5 H2O. Karena BE =
BM-nya (248,17) maka dari segi ketelitian penimbangan, hal ini menguntungkan.
Larutan ini perlu distandardisasi. Kestabilan larutan mudah dipengaruhi oleh Ph
rendah, sinar matahari, dan terutama adanya bakteri yang memanfaatkan S. Pada
PH rendah (<5)>
S2O3 + H HSO3
+ S
Tetapi karena reaksi ini berjalan
lambat, kesalahan tidak perlu dikuartirkan walaupun larutan yang dititrasi
cukup asam asal titrasi dilakukan dengan penambahan titrant yang tidak terlalu
cepat. Bakteri dapat menyebabkan perubahan S2O3 menjadi SO3,
SO4 dan S . S ini tanpa sebagian endapan
koloida yang membuat larutan menjadi keruh; ini pertanda larutan harus diganti.
Untuk mencegah aktivitas bakteri, pada pembuatan larutan hendaknya dipakai air
yang sudah dididihkan; selain itu dapat ditambahakan pengawet seperti misalnya
klorofom, natrium benzoate, atau HgI2.
Kestabilan larutan Na2S2O3=
dalam penyimpangan ternyata paling baik bila mempunyai pH antara 9 dan 10,
mungkin karena aktivitas bakteri yang minimal. Untuk kebutuhan biasa, pH 7
sudah sangat memadai. Walupun demikian, larutan Na2S2O3
harus sering distandardisasi ulang.
b.
Sumber kesalahan Titrasi
● Kesalahan Oksigen: Oksigen di udara dapat menyebabkan
hasil titrasi terlalu tinggi karena dapat mengoksidasi ion yodida menjadi I2
juga sebagai berikut :
O2 + 4 + 4 H 2
I2 + 2 H2O
● Pada Ph tinggi muncul bahan lain, yaitu bereaksinya I2
yang berbentuk dengan air (hidrodisa) dan hasil reaksinya lanjut:
I2 + H2O HOI + I
+ H (a)
4 HOI + S2O3 + H2O
2 SO4 + 4 I + 6 H
(b)
● Di atas sudah disebutkan bahaya kesalahan karena pemberian
amilum terlalu awal.
● Banyak reaksi analat dengan KI yang berjalan agak lambat.
Karena itu sering kali harus ditunggu sebelum titrasi; sebaliknya menunggu
terlalu lama tidak baik karena kemungkinan yod menguap.
c. Bahan
Baku Primer
● I2 murni atau dimurnikan dengan jalan
disublimasikan. BE cukup tinggi (126,9). Yod mudah menguap, maka bahan ini
harus ditimbang dalam botol tertutup
● KIO3 kemurnianya baik,
tetapi Be agak terlalu rendah (35,67)
● K2 Cr2O7 juga mudah
sekali diperoleh dalam keadaan murni, tetapi juga agak rendah BE-nya (49,03).
Reaksinya dengan KI harus ditunggu beberapa lama senelumnya dititrasi.
3.
I2 sebagai titrant;
dikenal sebagai titrasi yodometri langsung dan kadang-kadang dinamakan
yodimetri
Dalam metode ini, analat dioksidasi oleh I2
sehingga I2 tereduksi menjadi ion yodida:
Ared + I2 Aoks + I,
Yod meruapakan oksidator yang tidak terlalu kuat , sehingga hanya zat-zat yang
merupakan dari tak berwarna menjadi warna biru.
a. Larutan Baku Yod
Yod (I2) sebagai zat
padat sukatr larut dalam air , yaitu hanya sekitar 0,0013 mol per liter pada 25
C, tetapi sangat mudah larut dalam larutan KI karena membentuk
ion I3 sebagai berikut:
I2 + I I3 (ion
triyodida)
Maka larutan dibuat dengan KI
sebagai pelarut. Larutan yod ini tidak stabil, sehingga standardisasi perlu
dilakukan berulang kali.
b. Kesempurnaan Reaksi
Sebagai oksidator lemah, yod tidak
dapat bereaksi terlalu sempurna. Karena itu sering dibuat kondisi yang
menggeser kesetimbangan kea rah hasil reaksi antara lain dengan mengatur Ph
atau menambahkan bahan pengkomleksan seperti yang dilakukan pada titrasi Fe
dengan pemberian EDTA atau P2O7.
- Suatu oksidator kuat sebagai titrant. Diantaranya yang paling sering dipakai ialah:
a. KMnO4
b. K2Cr2O7
c. Ce (IV)
- Suatu reduktor kuat sebagai titrant
Larutan bahan pereduksi sering
penggunaanya karena sangat mudah teroksidasi oleh udara. Akibatnya,
kadang-kadang titrasi harus dilakukan dalam atmosfer insert, misalnya dengan
mengalirkan N2 atau CO2 ke dalam atau ke atas titrat.
Juga penyimpangan larutan memerlukan lingkaran inert. Cara lain ialah
menambahkan pereduksi berlebih, lalu menitrasikannya kembali dengan oksidator
untuk menentukan kelebihannya; oksidator yang dipakai dapat misalnya kalium
bikhromat baku. Disamping itu dilakuakan titrasi blangko atas pereduksi
tersebut untuk menentukan konsentrasinya yang tepat.
a.
Pereduksi-pereduksi kuat yang
dapat dipakai sebagai titrant antara lain ialah titrant (III) dan khrom (II)
yang cepet sekali bereaksi dengan udara sehingga harus digunakan dengan gas
inert N2 atau CO2.
b.
Natrium tiosulfat sebagai
titrant untuk yodometri tak langsung sudah dibicarakan.
c.
Larutan Fe dengan mudah dapat
dibuat dari garam Mohr, Fe(NH4)2 (SO4)2.6
H2O atau garam Oesper, FeC2H4 (NH4)2.4
H2O (ferro etilendiammonium sulfat). Dalam larutan netral, Fe (II)
cepat teroksidasi oleh udara, tetapi hal itu dapat dicegah bila larutan diasami
dan larutan paling stabil dibuat dengan H2SO4 sekitar 0,5
M. Larutan demikian perlu distandarisasi setiap kali hendak dipakai.
2.6.
Penentuan Titik Akhir pada Titrasi Redoks
Biasanya dua jenis indicator digunakan untuk menentukan
titik akhir. Indikator tersebut adalah indicator eksternal maupun indicator
internal. Biasanya indicator eksternal digunakan dalam uji bercak.Contohnya : K3Fe(CN)6
untuk Fe. UO2(NO3)2 untuk Zn. Indikator
eksternal dapat digantikan oleh indicator redoks internal. Indikator terdiri
dari jenis ini harus menghasilkan perubahan potensial oksidasi di sekitar titik
ekivalen reaksi redoks. Yang terbaik adalah indicator 1.10-fenantrolin, indicator
ini mempunyai potensi oksidasi pada harga antara potensial larutan yang titrasi
dan penitrannya sehingga memberikan titik akhir yang jelas.
(fen)3Fe + e (fen)3 Fe E = 1,06 V – 1,11 V
Biru
Merah
Garam kompleks yang diperoleh dari pencampuran secara
ekivalen 1.10-fenantrolin dan FeSO4 membentuk kompleks khelat yang
disebut “ferroin”. Pertukaran electron berlangsung melalui cincin aromatic.
Kompleks Fe dengan 5-nitro-1, 10-fenantrolin dan 5-metil-1-10-fenantrolin
masing-masing dikenal sebagai nitroferrolin (E= 1,25 V) dan
metal-ferroin (E = 1,02 V). Kompleks Fe dengan 4-7 dimetil
fenantrolin mempunyai harga E= 0,921 V dalam 0,5 M H2SO4.
Turunan-turunan lain yang sering digunakan adalah 5,6-dimetil; 3,5,7 trimetil;
3,4,6,7-tetrametil; 5 fenil; 5-khloroferroin. Kemudian indicator trimetil
metana; turunan ini digunakan dalam suasan larutan alkalis dan netral. Misalnya
saja eroglaucine A (0,98 V), erigren B (0,99 v), eriogren semuanya berubah
warnanya dari kuning ke jingga pada peristiwa oksidasi. Pada keadaan tersebut
titrasi kembali tidak mungkin dilakukan karena perubahan warnanya tidak
reversible. Difenil amin dalam H2SO4 juga merupakan
indicator yang sering digunakan.
2.7.Pemakaian
Iodium Sebagai Regen Redoks
Karena harga Eiodium berada pada daerah
pertengahan maka sistem iodium dapat digunakan untuk oksidator maupun reduktor.
Jika Etidak tergantung pada pH (pH <>
I2 + 2 e
2 I , E = 0,535 V
I2 adalah oksidator lemah
sedangkan iodide secara relative merupakan reduktor lemah. Kelarutannya cukup
baik dalam air dengan pembentukan triodida [KI3]. Oleh karena itu
I2 + 2 e
2 I , E = 6,21 adalah reaksi pada
permulaan reaksi. Iodium dapat dimurnikan dengan sublimasi. Ia larut dalam
larutan KI dan harus disimpan dalam tempat yang dingin dan gelap. Dapat
distandarisasi adalah As2O3. Berkurangnya iodium akibat
penguapan dan oksidasi udara menyebabkan banyak kesalahan analisis. Cara lain
standarisasi dengan Na2S2O3. 5H2O.
Larutan thiosulfat distandarisasi lebih dahulu terhadap K2CrO7.
Reaksinya :
Cr2O7 + 14 H
+ 6 I 3 I2 + 2Cr + 7H2O
Biasanya indicator yang digunakan
adalah kanji/amilum. Iodida pada konsentrasi < style="position:
relative; top: 2pt;">M dapat dengan mudah ditelan oleh
amilum.
Sensitivitas warnanya tergantung
pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan yang
kecil dalam air sehingga biasanya ditambahkan pada titik akhir reaksi. Dengan
formamida penyerangan kanji oleh mikroorganisma paling sedikit. Kita akan
membahas beberapa pilihan reaksi iodometrik.
- reaksi iodium-tiosulfat : Jika larutan iodium di dalam KI pada suasana netral maupun asam dititrasi maka : I3 + 2S2O3 3 I + 2S4O6 sealam reaksi zat antara S2O3 Iyang tidak berwarna adalah terbentuk sebagai
S2O3 + I3
S2O3 I+ 2 I warna yang terus
menjadi
2S2O3 I+ I S4O6 +
I3 warna indicator muncul kembali pada
S2O3 I+ S2O3 S4O6 +
I Reaksi berlangsung baik dibawah pH = 5,0, sedangkan pada
larutan alkali, larutan asam hpoiodus (HOI) terbentuk.
- Reaksi dengan tembaga : Kelebihan KI bereaksi dengan CU (II) untuk membentuk CuI dan melepaskan sejumlah ekivalen I2.
2Cu + 4 I 2CuI + I2 ; 2Cu +
3 I 2CuI + I3 Iodida berperan sebagai
reduktor. Reaksi dengan Cu
Cu + e Cu E = 0,15 V; I2
+ 2 e = 21 E=0,54 V dan Cu + I+ e CuI E =
0,86 V Hasil yang terbaik diperoleh dalam 4% KI. pH optimum adalah 4,0.Cu (II)
pada medium alkali akan lebih sulit dioksidasi. Na2S2O3
di tambahkan secara perlahan-lahan karena iodium yang teradsorbsi dilepaskan
sedikit demi sedikit. Adanya ion klorida dapat mengganggu karena iodide tidak
dapat mereduksi Cu (II) secara kuantitatif.
- Oksigen terlarut : Dengan menggunakan metode Winkler, oksigen terlarut (DO) dapat ditentukan. Dasarnya adalah reaksi antara O2 dan Mn (II) hidroksida yang tersuspensi pada media alkali. Pada penambahan asam Mn (OH)2 berubah menjadi Mn-iodida.
- Air dengan metode Kerl Fischer : Ini meliputi titrasi sampel dalam methanol. Titik akhir titrasi sesuai dengan munculnya kelebihan I2, yang dapat dideteksi secara manual maupun dengan cara-cara elektrokimia. Reaksi adalah :
C5H5N.I2 + C5H5N.SO2
+ C5H5N + H2O 2C5H5N
H I + C5H5N. SO2 (Piridin N – asam
sulfonat)
C5H5N.SO3 + CH3OH
C5H5NO. SO2OCH3
(Piridium metal sulfat)
C5H5N.SO3 + H2O C5H5NHO.
SO2OH (Piridium hydrogen sulfat)
Reaksi totalnya :
I2 + SO2 + H2O + CH3OH
+ 3 pyHI 2 pyHI + pyHOSO2OCH3
Metode ini sangat untuk menentukan kelembapan dan kandungan
H2O dari beberapa materi. Metode dua reagen lebih baik bila sampel
dan piridin methanol serta SO2 dititrasi dengan iodium dalam
metanol.
2.8.
Beberapa Sistem Redoks
a.
Ce (IV) sulfat adalah oksidator
yang sangat baik dengan indicator o-fenantrolin. Pada reaksi Ce Ce + eelectron orbital
4f-lah yang dibebaskan. Laju reaksi dipengaruhi oleh pelarut dan pembentukan
kompleks. Ce (IV) selama reaksi dalam medium H2SO4, HNO3
dan HCLO4 berada dalam bentuk kompeks. Potensial formal
pasangan Ce (IV)-Ce (III) adalah 1,70 V dalam HCIO4; 1,60 V dalam
HNO3 dan 1,42 V dalam larutan H2SO4.
b.
Kalium permanganate : adalah
oksidator kuat. Tidak memerlukan indicator. Kelemahanya adalah dalam medium HCI
CIdapat teroksidasi. Demikian juga kelarutannya, mempunyai
kestabilan yang terbatas. Biasanya digunakan pada medium asam 0,1N; MnO4
+ 8 H + 5 e 4 H2O E= 1,51 V.
Reaksi oksidasi terhadap H2C2O4 berjalan
lambat pada temperature ruang.
c.
Kalium dikromat : reaksi ini berproses seperti
Cr2O7 + 14 H + 6 e
Cr + 7 H2O E= 1,33 V Zat ini mempunyai
keterbatasan dibandingkan KMnO4 atau Ce (IV), yaitu kekuatan
oksidasinya lebih lemah dan reaksinya lambat. K2Cr2O4
bersifat stabil dan inert terhadap HCI. Mudah diperoleh dalam kemurniaan tinggi
dan merupakan standar primer. Biasanya indicator yang digunakan adalah asam
difenilamin-sulfonat. Terutama digunakan untuk analisis besi (III) menurut
reaksi :6 Fe + Cr2O7 + 14 H 6 Fe +
2 Cr + 7 H2O
d.
Kalium bromate : ini adalah
oksidator kuat. Reaksinya: BrO + 6 H Br + 3H2O E=
1,44 V. BrO3 adalah standar primer dan sifatnya stabil. Methyl orange
atau red digunakan sebagai indicator tetapi tidak sebaik nafthaflavon,quinoline
yellow. Kalium Bromat banyak digunakan dalam kimia organic, missal titrasi
dengan oksin. Sebagian besar titrasi meliputi titrasi kembali dengan asam
arsenic.
e.
Kalium iodat : banyak dipakai
dalam kimia analitik IO3+ 5 I + 6 H
3 I2 + 3 H2O dan reaksi dalam titrasi Adrew’s: IO3
+ Cl + 6 H +4 e ICI + 3 H2O E=
1,20 V. titrasi Andrew dilakukan pada suasana asam HCI 6 M dalam CCI4.
Titik akhir ditetapkan pada saat earna unggu menghilang . Untuk mendapatkan
warna titik akhir yang tepat perlu dilakukan pengocokan.
BAHAN,
ALAT DAN METODE
3.1. Bahan
Percobaan
Beberapa bahan yang digunakan untuk praktikum ini yaitu :
asam oksalat, KMnO4, dan sampel (sampel I)
3.2. Alat
Percobaan
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini yaitu : pembakar
bunsen, termometer, kaki tiga, kasa, neraca elektrik, labu erlemeyer, buret,
gelas ukur, pipet, kertas, labu ukur, dan corong
3.3 Metode/prosedur Percobaan
Metode
Percobaannya yaitu :
1. Pembuatan Larutan Baku Primer
asam oksalat, (H2C2O4.2H2O) (BM
126) 0,05 N. Asam oksalat ditimbang seberat + 0,315 gram, lalu
dimasukkan ke dalam labu ukur seukuran kemudian larutkan dengan menambahkan
aquadest sampai volume 100 ml.
2. Pengenceran larutan baku sekunder
KMnO4 0,1 N menjadi 0,05 N 50 ml kalium permanganat (KMnO4)
diadakan sampai volume 100 ml.
3. Pembakuan KMnO4
Pipet 25 ml asam oksalat, masukkan
ke dalam labu Erlemenyer, kemudian tambahkan 15 ml H2SO4 panaskan.
Titrasi dengan larutan baku KMnO4 sampai terbentuk warna ros. Catat
volume akhir KMnO4 pada buret. Ulangi, kemudian cari volume
rata-rata KMnO4 yang terpakai.
Catat Volum rata-rata KMnO4 yang
terpakai.
4. Perhitungan Konsentrasi Sampel
(Sampel I)
Pipet 25 ml sampel, tambahkan H2SO4
kemudian panaskan sampai letupan yang pertama. Titrasi dengan
larutan baku KMnO4 sampai terbentuk warna ros. Catat akhir KMnO4.
Ulangi kemudian cari volume rata-rata KMnO4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Percobaan
Pada percobaan ini, asam oksalat 25
ml ditambahkan H2SO4 pekat kemudian dipanaskan mencapai
suhu 60-65o C ternyata mempunyai warna larutan tetap bening.
Tabel Hasil Titrasi Asam Oksalat
dengan H2SO4 oleh KMnO4
Percobaan
|
Titik Ekivalen (mL)
|
1
|
5,7 mL
|
2
|
5,7 mL
|
Rata-rata TE
|
5,7 mL
|
Keterangan :
Warna berubah menjadi warna ros.
V1 . N1 = V2
. N2
N asam oksalat . Vasam Oksalat = N
KMnO4 . V KMnO4
N1 = N2 . V2
V1
= 0,03 . 5,7 mL
25 mL
= 0,171
25
= 0,00684 N
= 6,84 X 10-3
Jadi N asam oksalat adalah 6,84 X 10-3
N
4.2.
Pembahasan
Pereaksi kalium permanganat ukan
pereaksi aku primer. Sangat sukar untuk mendapatkan perekasi ini dalam keadaan
murni, bebas dari mangan dioksida. Kalium permanganat merupakan zat pengoksid
kuat yang berlainan menurut pH medium, kalium permanganat merupakan zat padat
coklat tua yang menghasilkan larutan ungu bila dilarutkan dalam air, yang
merupakan ciri khas untuk ion permanganat.
Timbulnya mangan dioksida ini justru
akan mempercepat reduksi pemanganat. Demikian juga adanya ion mangan (II) dalam
larutan akan mempercepat reduksi permanganat menjadi mangan oksida. Reaksi
tersebut berlangsung sangat cepat dalam suasana netral. Oleh karena itu larutan
kalium permanganat harus dibakukan dahulu dengan menggunakan asam oksalat (H2C2O4)
dan H2SO4.
Pembakuan larutan KMnO4
ini dapat dilakukan dengan titrasi permanganometri secara langsung, biasanya
dilakukan pada analit yang dapat langsung dioksida.
Kalium permanganat merupakan zat
pengoksidasi yang sangat kuat. Pereaksi ini dapat dipakai tanpa penambahan
indikator, karena mampu bertindak sebagai indikator. Oleh karena itu pada
larutan ini tidak ditambahkan indikator apapun dan langsung dititrasi dengan
larutan KMnO4.
Sumber-sumber kesalahan pada titrasi
permanganometri, antara lain terletak pada: Larutan pentiter KMnO4 pada buret
Apabila percobaan dilakukan dalam waktu yang lama, larutan KMnO4 pada buret
yang terkena sinar akan terurai menjadi MnO2 sehingga pada titik akhir titrasi
akan diperoleh pembentukan presipitat coklat yang seharusnya adalah larutan
berwarna merah rosa. Penambahan KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan seperti H2C2O4
Pemberian KMnO4 yang terlalu cepat pada larutan H2C2O4 yang telah ditambahkan
H2SO4 dan telah dipanaskan cenderung menyebabkan reaksi antara MnO4- dengan
Mn2+¬. MnO4- + 3Mn2+ + 2H2O ↔ 5MnO2 + 4H+ Penambahan KMnO4 yang terlalu lambat
pada larutan seperti H2C2O4 Pemberian KMnO4
yang terlalu lambat pada larutan H2C2O4 yang
telah ditambahkan H2SO4 dan telah dipanaskan mungkin akan
terjadi kehilangan oksalat karena membentuk peroksida yang kemudian terurai
menjadi air.
Raeksi antara permanganat dengan
asam oksalat berjalan agak lambat pada suhu kamar. Tetapi kecepatan meningkat
setelah ion mangan (II) terbentuk mangan (II) bertindak sebagai suatu katalis
dan reaksinya diberi istilah otokatalitik karena katalis menghasilkan reaksinya
sendiri. Kalium permanganat merupakan pengoksidasi yang kuat sehingga dapat
memakainya tanpa penambahan indikator. Hal ini dikarenakan kalium permanganat
dapat ertindak sebagai indikator atau autoindikator. Diperoleh volume yang
menggunakan KMnO4 sebesar 1 mL, dengan perubahan larutan menjadi
warna ros.
Reaksi yang terjadi adalah :
2MnO4- + 5H2C2O4
+ 6H+ à 2Mn2 +10 CO2 + 8 H2O
Berdasarkan reaksi diatas diperoleh
sesuai dengan konsep awal bahwa normalitas KMnO4 yang digunakan
adalah 0,03 N maka untuk dihasilkan perhitungan sebagai berikut :
V1 . N1 = V2
. N2
N asam oksalat . Vasam Oksalat = N
KMnO4 . V KMnO4
N1 = N2 . V2
V1
= 0,03 . 5,7 mL
25 mL
= 0,171
25
= 0,00684 N
= 6,84 X 10-3
Jadi N asam oksalat adalah 6,84 X 10-3
N
Permanganat akan memberikan warna
merah ros yang jelas pada volume larutan biasa dipergunakan dalam larutan yang
biasa dipergunakan dalam sebuah titrasi. Warna ini dipergunakan untuk
mengidikasi kelebihan reagen tersebut. Permanganat berekasi secara cepat dengan
banyak agen pereduksi, namun beberapa substansi membutuhkan pemanasan atau
penggunaan sebuah katalis untuk mempercepat reaksi.
Tabel
Hasil Titrasi Asam Oksalat dengan H2SO4 oleh KMnO4
Percobaan
|
Titik Ekivalen (mL)
|
1
|
5,7 mL
|
2
|
5,7 mL
|
Rata-rata TE
|
5,7 mL
|
Kelebihan sedikit dari permanganat
yang hadir pada titik akhir dari titrasi cukup untuk mengakibatkan terjadinya
pengendapan sejumlah MnO2. Bagaimanapun juga, mengingat reaksinya
berjalan lambat, MnO2 tidak diendapkan secara normal pada titik
akhir titras-titrasi permanganat. Tindakan pencegahan khusus harus dilakukan
dalam pembuatan larutan permanganat. Jejak-jejak dari MnO2 yang
semula ada dalam permanganat, atau terbentuk akiat dari reaksi antara
permanganat dengan jejak-jejak dari agen-agen pereduksi didalam air, mengarah
pada dekomposisi. Tindakan-tindakan ini biasanya berupa larutan
kristal-kristalnya, pemanasan untuk menghancurkan substansi-substansi yang
dapat direduksi.
DAFTAR PUSTAKA
Basset, J. Dkk.199. Buku Ajar
Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Penerbit Buku Kedokteran. EGC.
Jakarta
Haryadi.1990. Ilmu Kimia Analitik
Dasar. PT. Gramedia: Jakarta.
Purba,
Michael 1995. Ilmu Kimia untuk SMU Kelas 2 Jilid 2A. Jakarta :
Erlangga.
Sutresna,
Nana. 2003. Pintar Kimia Jilid 3 untuk SMU Kelas 3. Jakarta :
Ganeca Exact.
Pudjaatmaka, Hadyana.1989. KIMIA
UNTUK UNIVERSITAS. ERLANGGA: Jakarta.
Khopkar,
S.M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI-Press. Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar